Menelusuri mereka yang Disebut Gila
Di tengah gaduhnya kegilaan negara ini, saya jadi teringat kisah masa lalu. Dulu, tahun 2015, saat proses pemilihan ketua umum di organisasi mahasiswa berpayung Himpunan, saya pernah berdebat dalam satu badai cekcok tak mau kalah dengan senior mengenai konsep gila.
Debat ini muncul saat saya menyoal salah satu syarat untuk menjadi ketua umum. Katanya, jadi ketua umum itu harus sehat secara rohani. Saya tetap bersikukuh walaupun akhirnya enggak tegang-tegang banget, berbeda dengan anggapan umum, bahwa gila adalah mereka yang masih bisa mengfungsikan akalnya.
Akibat fungsi akal itu, meminjam istilah agung Jokowi, kita bakal diperuwet oleh tetek bengek hidup tak berperi ini dan juga tanpa atau sadar memikirkan sesuatu yang semestinya tak perlu kita pikirkan banget. Sama halnya seperti mengapa saya menulis artikel ini. Entah penting atau tidak. Ruwet!
Michel Foucault, psikolog sekaligus filosof Prancis itu, adalah tokoh yang tepat dan mau tak mau harus saya masukkan dalam tulisan ini. Karena dengan ketekunan gilanya, menelusuri kegilaan dari abad 15 hingga 19, dia berkesimpulan bahwa orang gila merupakan hasil konstruksi psikologis dan sosiologis ketimbang diagnosa medis.
Gila bukan? Bukankah dengan kewarasannya, orang ini, Foulcoult, telah gila? Ngapain juga nelusuri orang-orang gila pada tiap masa, lu gabut bang?
Baca juga: Reforma Agraria Buat Si Milenial & Pesan Untuk kapitalis B*NGS*T.
Selain berpendapat bahwa kegilaan harus dihilangkan dari sifat patologis, ilmu tentang penyakit, Foulcoult juga menyatakan bahwa gila adalah fenomena tersendiri dan ia terus bertranformasi sesuai dengan peradaban atau era.
Toh, Foucault enggak bakal dianggap waras juga kok walaupun telah berhasil memetakan kegilaan; bahwa pada periode renaissance, orang gila tidak dipertentangkan dengan akal; bahwa pada periode klasik, orang gila adalah mereka yang tidak berakal; dan bahwa pada periode pasca klasik, orang gila adalah mereka yang tidak patuh terhadap moralitas.
Haduhh. Ruwet! Ruwet! Kalo kata Jokowi.
Tapi mari kita lanjutkan kegilaan ini.
Kecanduan kegilaan Foucoult, karena orang gila itu tergantung hidup pada masa apa dan siapa yang punya otoritas mengkategorikan gila, dan penasaraan bagaimana konsep orang gila hari ini, saya tanya pada seorang teman Psikologi Klinis. Agar celotehan saya ini enggak dianggap bualan semata.
Jawabannya membuat aku geleng-geleng dan tambah gila. Karena, meski saat ini ada istilah psikosis menentukan mana yang waras atau mana yang tidak, psikolog manapun, kata temanku ini, sebenarnya masih bertanya-tanya batas mana normal dan mana abnormal. Hufftt.. banget kan?
Terus, bahwa saat kita berjumpa dengan orang berjalan kaki di pinggir jalan, berpakaian kumal dan kotor, atau kadang tanpa pakaian alias bugil, tapi tetap buat kita merasa jijik selain karena mereka dianggap gila, dan satpol PP meringkus mereka dengan alasan ketertiban, itu apa dong?
Lanjut, ya. Psikosis itu adalah gangguan mental yang ditandai dengan diskoneksi atau ketidakmampuan seseorang untuk berpegang pada realitas. Seperti pada diri orang muncul delusi, halusinasi, dan tidak dapat membedakan itu semua dengan kenyataan.
Pernah baca novelnya Miguel de Cervantes, Petualangan Don Quixote?
Nah, seperti karakter Don Quixote inilah definisi gila hari ini, kata temanku. Atau seperti Rangga Sasana, petinggi Sunda Empire, dengan segala kehaluannya terhadap tatanan dunia ini. Tapi ILC tetap sebagai forum gila formal yang pernah diadakan di Indonesia. Toh, ngapain juga ngasih panggung kepada orang gila. Mau ngajak segenap tumpah dan darah rakyat Indonesia ikut gila berjamaah?
Atau lagi, agar lebih kontekstual dan tampak begitu dekat, adalah mereka manusia jomblo pengalih dunia lupa daratan, dengan sok berpegang teguh prinsip ‘semua indah pada waktunya’, berharap pelukan Chelsea Islan. Tanpa mereka sadari bahwa merindukan Chelsea Islan lebih mustahil daripada pungguk merindukan bulan.
Ahh.. tapi tenang aja. Bukan karena senasib, tapi kalian emang patut dibela. Kalian hanya butuh sedikit saja kesabaran dan sebuah rasa optomistik. Yakinlah bahwa sebentar lagi akan muncul kegilaan baru di negeri ini, karena, seperti kata Foucault, konsep gila itu tidak paten atau statis tapi terus bertransformasi dan berubah wujud dan bentuk mengikuti zaman.
Jadi, ambil HP kalian. Ketik dan ikuti trending topik opini publik belakangan hari ini. Betapa potensi kegilaan baru sudah tampak di depan mata: kelompok gila diprotes orang gila, dan negara menyumbang kegilaan lewat 20 ribu masker dan hand sanitizer.
Baca artikel Sirojul Lutfi Lainnya: Nikita Mirzani, Perempuan Gila yang Kita Butuhkan