Bagian I – Sisi lain Sahabatku Wikho Syadjuri: Metamorfosisnya George Samsa
Aku terbangun dengan sikap tubuh telentang pada suatu sore yang dingin dan gelap saat mendapati diriku menjadi George Samsa dalam karya Franz Kafka: Metamorfosis.
Lampu kamar padam. Kurasakan mataku masih membutuhkan sedikit jeda menyesuaikan dengan lemahnya intensitas cahaya. Pada bagian kamar, dari pojok kanan aku telentang di tempat tidur, mestinya jendela itu berfungsi menyuplai cahaya dari luar.
Tapi, aku keliru. Saat bola mataku memutar dan tertuju pada arah jam beker, ternyata angka jarum jam telah menunjukkan pukul 17.56. Rupanya sore telah turun dan malam sudah menjemput. Gila, keluhku. Apa aku telah tidur begitu lama?
Aku tak ingin bertanya apa yang terjadi dengan diriku. Sebisa mungkin aku berusaha menahan keliaran pikiran memperkirakan sesuatu, karena aku takut seperti Samsa yang menyadari dirinya bukan lagi sebagai manusia tapi berubah menjadi seekor kecoak saat bangun pada pagi hari dari mimpi buruknya.
Apalagi dengan samar-samar aku merasakan, saat perlahan menggerakkan dan mengangkat kepala, batok punggungku berubah kaku dan keras. Juga tanpa sadar aku melihat warna kulitku telah berubah menjadi cokelat tua yang menjijikkan seperti seekor kecoak yang biasa kita temukan di kamar mandi.
Baca juga: Dakwah Adalah Kendaraan dalam Ikhtiar Memahami Agama
Aku harap semua ini hanya sebatas mimpi. Bagaimana kalau aku kembali tidur sedikit lebih lama lagi dan melupakan semua hal yang tidak masuk akal ini? Siapa tahu saat bangun keadaan kembali seperti semula. Pikirku.
Tapi kalian juga tahu. Kadang memutuskan untuk tidur lebih susah daripada memilih untuk bangun. Aku juga tak terbiasa tidur dengan sikap tubuh telentang seperti ini. Biasanya aku tidur dengan tubuh miring. Baik itu ke arah kanan atau kiri. Jadi hampir mustahil jika aku dapat kembali tidur.
“Ya Tuhan…, alangkah berat hidup ini!” Belum lagi aku harus menyiapkan berkas lowongan kerja dan harus mendapat perkerjaan itu. Aku sudah janji dengan Tante Rani. Jika aku kembali gagal maka sudah sepantasnya aku menjadi sampah dan patut ditinggal olehnya.
Bagaimanapun pada usia yang sudah menginjak seperempat abad ini aku masih luntang-lantung dengan gelar sarjana yang kuperoleh delapan bulan lalu.
Betapa waktu telah kusia-siakan, sesalku jika ingat kembali masa-masa itu: Sarkem.
Semestinya aku memeras pengalaman dan belajar dari kegagalan, serta membuka tirai impian dan mencoba melangkah maju. Bukan membunuh waktu produktif dengan hanya tidur dan bermalas-malasan di tempat tidur ini. Sebab di dunia ini yang tak bisa kita beli adalah persoalan waktu.
Tapi nyatanya aku benar-benar sampah. Apalagi saat bangun pada malam hari mendapati diriku bermetamorfosis menjadi Samsa. Aku juga tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi keluarga dan Tante Rani saat mendapati diriku berubah menjadi seekor kecoak yang biasa membuat mereka berteriak histeris.
Reaksi mereka pasti melebihi imajinasiku. Terlebih saat mereka melihat perutku yang cokelat berbulu dan berbuku-buku melengkung kaku di atas hamparan seprai yang tampak hendak melorot, dan ditambah dengan kaki-kaki yang banyak dan tampak kurus menyedihkan bila dibandingkan ukuran tubuhku dan bergetar lemah.
Tapi, aku harus beranjak dari tempat tidur sekaligus melepas kutukan jahanam ini. Aku tidak ingin mereka mendapati sosok yang juga menakutkan ini tergeletak malas di atas kasur saat pintu kamar terbuka.
Aku menghela nafas dan berusaha sebisa mungkin dimulai dengan mencoba menyingkirkan selimut yang menutupi bagian tubuhku. Tapi, sial. Sebaik apapun berusaha ternyata aku hanya bisa mengerakkan kaki-kaki kecil kaku dan bodoh ini dengan begitu lemah tanpa bisa mengikuti kemana insting sarafku bekerja. “Apa karena aku terlalu sering bermalas-malasan di tempat tidur sehingga harus menerima kutukan seperti ini?” tanyaku pada diri sendiri.
Sementara itu aku mendengar gema ketukan pintu kamar dan teriakan suara Ibu dari luar. “Wikho!.. Wikho!! Kenapa kau masih belum bangun? Apa kau sedang tidak enak badan?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Rupanya bukan hanya tubuhku yang tak bisa kugerakkan. Lidahku juga kelu dan tak bisa mengeluarkan sedikit saja suara untuk menjawab teriakan Ibu.
“Ayo Nak, cepat turun!! Ada telepon juga dari Tante Rani,” kata ibu berteriak lagi.
Aku lupa jika hari ini ada janji dengan Tante Rani. Dia pasti mengeluh atas keterlambatanku tanpa peduli bagaimana kondisiku saat ini.
Saat kembali melihat jam beker yang tergeletak lesu di atas meja, ternyata sudah aku terlambat setengah jam lebih. Keluhannya kujamin bakal meledakkan kemarahan saat tahu jika lamaran kerja yang minggu lalu kukirim semuanya ditolak.
Sejak bercinta dengan kekaguman setahun lalu aku meminta Tante Rani berhenti dari pekerjaannya di Sarkem dan berjanji bakal menikahinya. Tapi dengan syarat, kata Tante Rani, aku harus menye-lesaikan kuliah dan mendapatkan pekerjaan.
Aku menyetujuinya. Sejak itu kami pindah di sebuah kontrakan dengan uang tabunganku dan ditambah sedikit tabungan Tante Rani. Tiga bulan kemudian aku menyelesaikan kuliah dan Tante Rani berhenti dari pekerjaannya sebagai tanda keseriusanku menepati janji, katanya.
Hubungan kami begitu mesra dan hangat juga begitu panas di ranjang, bercinta tanpa kenal waktu. Kami juga mengeksplorasikan fantasi hubungan kami dalam segala bentuk dan posisi setelah mendapat referensi dari video-video pendek yang biasa kami tonton sebelum bercinta. Selepas itu, biasanya, kami bakal ngobrol ringan mengenai masa setelah kami menikah.
Kami sepakat, setelah mendapat cukup uang, bakal pindah di desa tempat Tante Rani tinggal. Ada beberapa petak sawah yang dia warisi, katanya kepadaku.
Tapi semua berubah sejak dua bulan lalu. Aku seperti tidak bisa lagi memahaminya. Tante Rani yang kukenal seperti lenyap dalam keadaan sunyi yang biasa kita rasakan ketika merasa kesepian. Dia mulai banyak mengeluh dan terus-menerus mendesakku.
Aku bukannya tidak ada usaha mencari pekerjaan. Setiap ada info lowongan kerja, aku ikut mendaftar dan mengirimkan berkas berkas yang jadi persyaratan. Tapi, entah kenapa aku selalu gagal. Baik saat seleksi administrasi atau saat wawancara. Aku bukannya bodoh. Aku lulus dengan predikat memuaskan. Sewaktu kuliah juga ikut andil dalam perpolitikkan kampus untuk mendukung softskill.
Maka, melihat kemampuan, menurutku tidak ada soal kenapa aku harus ditolak perusahaan. Mungkin, bila ditelisik lebih dalam, karena budaya kita memang seperti ini –feodal dan hierarkis– aku kalah dalam jaringan jika dibanding dengan yang lain.
Ditambah lagi, dengan kondisi perekonomian yang tidak stabil, perusahaan sedang gencar-gencarnya melakukan PHK bukan membuka lowongan kerja, dan Tante Rani mestinya bisa memahami ini.
Baca tulisan Sirojul Lutfi lainnya