Bayang-bayang Dark Jokes di tengah Sakaratul Maut

Akhir bulan Mei lalu saya jatuh sakit. Sakit yang mungkin untuk pertama kali (dan semoga yang terakhir) begitu pedih saya rasakan. Kepala berputar, lambung naik, paru-paru membengkak, nafas tersengal-sengal, kaki dan tangan kram.

Saat meringkuk di rumah sakit, puluhan ucapan doa kesembuhan membanjiri pesan whatsapp saya, di pribadi maupun grup. Ucapan doa yang bertubi-tubi itu saya rasakan punya demage yang begitu istimewa. Karena untuk kali pertamanya saya mendapat posisi “center of attention” di banyak grup whatsapp.

Orang mungkin akan melihatnya hanya sebagai etika pergaulan sosial dan bentuk empati yang secara formalitas wajib direspon dengan doa-doa kesembuhan. Bagi orang lain, mengirim doa-doa baik kesembuhan atau belasungkawa mungkin terasa begitu hambar dan kering. Karena tinggal diketik atau dicopas, selesai.

Bagi saya pribadi, terserah apakah doa-doa melalui whatsapp atau komentar facebook itu tulus dipanjatkan atau sekadar formalitas ikatan emosional, sebagai subyek yang menerima doa-doa itu, saya merasa mendapat dukungan untuk terus kuat, bertahan, dan tahan banting. Peduli tidak harus dengan turun langsung ke lapangan, di pesan whatsapp pun bisa.

Dengan alasan ini pula kenapa kita tidak boleh merasa bosan mengirim upacan doa, belasungkawa, dan dukungan kepada kerabat atau siapapun. Bagi kita yang mengirim teks-teks doa atau belasungkawa mungkin terasa seperti formalitas harian. Tapi, bagi yang menerima ucapan-ucapan “hambar dan kering” itu terasa begitu berharga.

Apalagi di saat pandemi yang semakin menggila ini, ucapan “innalillahi” hampir setiap hari membanjiri grup-grup whatsapp kita. Meski sebagian dari kita hanya dengan copy paste saja, tapi menyampaikan duka, doa, dan belasungkawa merupakan salah satu penguat bagi kerabat yang ditinggalkan untuk lebih menerima takdir Tuhan.

Untuk alasan ini pula kenapa saya tidak suka komedi bergenre dark jokes atau menertawakan kesedihan orang lain dari jarak yang aman dan tanpa ikatan emosional apapun.

Berbeda dengan seseorang yang mengalami suatu musibah, seperti halnya seseorang yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya, lalu dark jokes itu dimunculkan oleh si penderita, atau dark jokes itu muncul dari seorang difabel. Seperti halnya seorang stand-up comedian Dani Aditya, ia mengemas materi dark jokes namun dibalik itu ia juga memberi pesan bahwa tetaplah memandang orang difabel itu sama seperti manusia lainnya.

Dani Aditya adalah media kuat untuk menentang norma-norma hegemonik seputar disabilitas. Terkecuali dark jokes ini sudah dipakai untuk seseorang yang sudah meninggal atau sedang dalam keadaan sakit parah, lalu memberikan humor dark jokes itu. Saya setuju dengan ucapan Mahesa Cempaka, “saya tidak keberatan humor jenis ini masuk ke tong sampah saja”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *