Cinderella Complex: Tuntutan Tidak Logis untuk Perempuan

Hai besti, apa kabar nih? Semoga kalian selalu dalam keadaan baik dan bahagia terus yaaak! Kalo aku? Kabar aku ya cukup baik, tapi lagi sedikit gelisah nih, gelisah bukan karena kalah dalam permainan lotre apalagi gelisah karena sakau (sakit karena engkau), bukan ya! Sama sekali bukan karena dua hal itu.

Gelisahku cukup sederhana dikarenakan ada hal yang terus menganggu pikiranku, mau aku cuekin tapi kok ya malah makin kepikiran dan bikin overthinking sebelum tidur.

Jadi gini besti, aku lagi gelisah soal hal-hal yang dinormalisasi bahkan didoktrinkan kepada perempuan dan anak-anak perempuan. Soalnya doktrin ini sudah sejak lama secara turun temurun ditanamkan kepada anak-anak perempuan.

Yap, doktrin soal menjadi perempuan yang lemah lembut, anggun, selalu menunggu dan sifat-sifat yang katanya harus dimiliki oleh seorang perempuan. Atau bahasa beken yang akhir-akhir ini sering aku dengar yaitu Cinderella Complex.

Istilah Cinderella Complex merupakan istilah psikiatri modern yang pertama kali dicetuskan oleh Colette Dowling, seorang terapis asal New York sekaligus penulis buku “The Cinderella Complex”, setelah menemukan konflik mendalam yang terjadi pada wanita, yang berhubungan dengan kemandirian. Ia menjelaskan bahwa perempuan pada umumnya semenjak lahir tidak dididik untuk menghadapi ketakutannya, dan tidak diajarkan mengatasi segala masalahnya sendiri.

Besti semua tau kan gimana Princess Cinderella yang digambarkan sebagai seorang tuan putri yang hanya harus terus menunggu pangerannya datang dengan berbagai tekanan dari lingkungan sosial bahkan tekanan dalam keluarganya sendiri.

Dalam perannya tersebut dia harus tetap sabar, pasrah, dan tetap berbuat baik ke semua orang. Sialnya, karena kisah ini begitu fenomenal dan selalu dijadikan kegiatan akbar buat  bunda-bunda yang selalu mendongengkan anaknya dengan kisah Cinderella, maka standar tersebut banyak dijadikan norma perempuan baik-baik di setiap lingkungan umat manusia bilkhusus perempuan.

Bagaimana perempuan diajarkan untuk selalu menerima apapun yang menimpa dirinya, entah itu datang dari dalam diri maupun luar. Perempuan dituntut untuk gak boleh marah, gak boleh mengekspresikan kekesalannya bahkan menunjukan versi original dari dalam dirinya kehadapan publik. Jika perempuan keluar dari sifat konvensionalnya lantas siapa yang mau mengkhitbahnya? Ucap jamet.

Selain daripada ditempatkannya pada posisi yang harus selalu menerima, akibat adanya Cinderella Complex ini perempuan gak boleh menunjukan sisi negatifnya dihadapan publik. Karena ketika melakukannya resiko yang akan diterima adalah di labelisasi perempuan yang gak baik.

Contohnya nih ya kalo mahasiswi yang mandiri, dalam berkegiatan organisasi misalnya berani kesana-sini sendiri, pulang malam, melakukan aktivitas yang sebenernya ia lakukan untuk mengupgrade dirinya, yang padahal hal itu normal-normal aja untuk dilakukan bahkan bagus, tapi pandangan masyarakat pasti langsung sinis, kok mau-maunya perempuan susah-susah ini itu padahal tinggal nunggu dilamar aja sama lakiknya. Hey bambang! Hidup tak harus monoton seperti itu!

Itu baru label untuk mahasiswi, bagaimana dengan perempuan yang sudah bekerja yang harus pulang malam untuk mencari nafkah? Perempuan juga sama-sama manusia pasti punya keinginan untuk bermanfaat bagi manusia lainnya. Masa iya tujuan semulia itu aja perempuan masih di labelisasi negatif, cukup menyedihkan.

Nah, apakah besti semua pernah denger labelisasi lelaki gak baik buat laki-laki gegara hal serupa yang dilakuin sama perempuan? Pasti enggak kan ya. Soalnya aku juga gak pernah denger isitilah serupa dilabelkan kepada laki-laki.

Padahal, soal standarisasi baik atau enggaknya seorang manusia itu gak ada juga. Kita aja yang membuat standar yang diuniversalkan, padahal standar yang dimiliki setiap orang pasti beda. Nah, kalo menurutku sih standar orang baik itu cuman satu, gak nyakitin orang lain.

Udah sesimple itu. Tapi, kok ya sistem sosial kita tuh jahat banget sampe bikin sekat dan standarisasi yang bahkan menurutku gak logis. Ya soalnya gini, kenapa perempuan harus ada dalam standar tersebut sedangkan laki-laki enggak? Apakah laki-laki alien atau tidak satu spesies dengan perempuan? Kenapa coba?

Sebenernya yang dirugikan soal Cinderella Complex ini gak cuman kaum perempuan aja, kaum laki-laki juga sebenernya dirugikan kok. Kenapa? Soalnya dalam situasi ini perempuan diajarkan untuk ketergentungan sama lakiknya.

Padahal ya aku tau sebagai manusia merdeka kita ingin memiliki ruang bebas dengan tidak lupa privasi tanpa adanya intervensi seseorang yang terus menerus bergantung dalam hal apapun kepada kita, dan karenanya kita jadi merasa ada beban.

Sebagai dua belah pihak yang sama-sama dirugikan gegara sistem sosial ini bukannya kita harus barengan ya ngelawannya? Iya dong harus. Soalnya ngerubah sistem sosial itu gabisa sendirian, butuh partner besti. Kita itu makhluk hidup yang pada hakikatnya saling membutuhkan, melawan secara bersama-sama itu lebih mudah. Karena menurutku melawan sistem sosial kayak gini harus ekstra sabar dan butuh gerakan kolektif yang istiqamah, makanya menularkan semangat melawan ini perlu untuk ditanamkan dalam setiap diri kita.

Balik lagi nih soal Cinderella Complex, point menarik yang aku tangkep dari salah satu podcast adalah ternyata pola didik asuhan dari orang tua menjadi hal yang paling penting. Anak perempuan cenderung lebih sedikit menerima dorongan untuk menjadi mandiri dengan pola asuh orang tua yang lebih protektif pula, serta sedikit tekanan untuk membangun identitas diri yang kuat.

Jadi, terakhir pesan dariku untuk kita semua (calon ibu, calon bapak, calon om, calon tante, atau apapun yang berhubungan soal didik mendidik anak) termasuk aku yang akan menjadi ibu dari anak-anak kita nanti eaaaa.

Sudahi mendidik anak perempuan untuk menjadi tuan putri yang manja  dan bergantung ke orang lain. Didiklah ia, anak perempuan sama seperti dengan anak lelaki yang dituntut harus mandiri dan berani. Karena dunia ini terlalu kejam jika kita tetap mengajarkan anak perempuan kita untuk menjadi lemah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *