Hai bestie-bestieku, apa kabar? Ternyata udah cukup lama ya aku engga berbagi pandangan sama kalian. Udah sekitar 4 bulan kita tidak berjumpa bestie. Kangen gak? Kangen lah ya masa engga kan hehehe.
Cukup banyak yang aku lewati 4 bulan terakhir ini, dan itu cukup berat sampe bikin aku hiatus nulis nih. Mudah-mudahan dengan comeback ala-ala lewat tulisan ini kita bisa lebih sering berbagi pandangan ya!
Udah ah prolog comeback-nya kepanjangan nih. Back to topik pembahasan kali ini yang cukup membuat aku hulang-huleng a.k.a overthinking bahasa kekiniannya mah yaitu soal perempuan dan persimpangan-persimpangan yang ia temui.
Gimana tuh maksudnya persimpangan bestie? Oke, sebelum masuk pembahasan aku mau bilang, ini pandangan aku sebagai perempuan yang sering mendengar cerita perempuan-perempuan lainnya di sekitarku. Jadi tulisan kali ini berdasarkan perspektifku, pengalaman teman-temanku dan tentu pengalaman pribadiku juga ada di sini.
Jadi gini, persimpangan yang aku maksud adalah pilihan, khususnya pilihan hidup seorang perempuan. Perempuan yang kerapkali dihadapkan pada pilihan yang seolah-olah bisa ia pilih padahal orang lain sudah memilihkan pilihan untuk ia jalani, alias pemaksaan berkedok kebaikan demi menjaga perempuan, katanya.
Bukankah sebagai manusia kita boleh dengan bebas merdeka menentukan pilihan hidup? Kendati Indonesia sudah merdeka 76 tahun, sampai saat ini masih banyak perempuan yang mengalami diskriminasi.
Jika demikian, apakah masyarakat kita benar-benar menganggap perempuan sebagai manusia? Sampai saat ini bagiku tentunya masih belum, pasti banyak pro-kontra mengenai hal ini, aku paham betul, hal ini bukan persoalan besar dalam hal berbagi pandangan.
Akan amat sangat wajar jika kita memiliki perbedaan pandangan karena kita memiliki pengalaman hidup dan latar belakang yang berbeda, juga privilege yang berbeda. Akan tetapi perbedaan ini bukan berati menghalangi kita untuk menciptakan lingkungan sosial yang adil tanpa diskriminasi gender.
Pada awalnya aku kira lingkunganku jauh dari hal tersebut karena aku pribadi cukup dibebaskan dalam memilih pilihan hidup oleh orangtuaku, tapi ternyata aku ditampar oleh kenyataan keadaan teman-teman terdekaktku.
Sebuah lingkungan yang dipenuhi dengan perilaku beracun yang akan berdampak secara fisik maupun mental baik pada diri sendiri maupun orang lain, tentu lingkunganku belum terbebas dari orang-orang toxic itu.
Mereka perempuan dan mereka dipaksa menjalani pilihan yang sudah ditetapkan oleh orang lain. Seketika bayanganku tentang kebebasan ini sirna, karena ternyata baru aku saja yang mendapatkan kebebasan ini, kebanyakan dari temanku belum.
Mungkin inilah yang disebut dengan privilege bestie. Hal tersebut menjadi keuntungan yang aku miliki hingga bisa mengantarkan tulisan ini kepada kalian, dan aku amat sangat bersyukur.
Temanku, perempuan, selama beberapa tahun kebelakang ia mengalami tekanan yang cukup serius dari keluarganya, dan ini soal memilih pasangan hidupnya. Tentu lingkungan toxic tidak hanya ada dalam percintaan dan pertemanan namun ternyata bisa dirasakan di dalam keluarga.
Bukankah memilih pasangan hidup itu amat sangat penting bagi kehidupan kedepannya dan bukan soal “asal ada yang mau” bisa dengan seenaknya orang lain memaksa untuk menerimanya tanpa mempertanyakan kesiapan, kecocokan, pandangan soal finansial, keilmuan, mentalnya dan hal krusial lainnya soal hidup yang Panjang ini.
Aku teramat sedih ketika ia menceritakan betapa tertekannya ia selama ini, jauh-jauh aku kampanyekan tentang kebebasan perempuan dalam memilih, eh ternyata teman terdekatku tidak bisa menentukan pilihannya sendiri.
Mungkin sebagain dari kamu akan berpikir kenapa engga nolak dari awal aja atau segelintir pertanyaan lainnya dengan cara pandangmu, ketahuilah aku juga pernah berpikir dan juga menyarankan demikian, well we never know situasi sebenarnya yang ia hadapi.
Sikapku sebagai temannya saat ini adalah mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi dan mencoba belajar banyak dari kehidupannya. Mungkin ini juga bisa dicoba sama kamu bestie kalo kamu juga punya teman dengan kondisi yang mirip.
Cerita ini hanya bagian yang sangat kecil dari kisah hidupnya sebagai seorang perempuan yang hidup dalam lingkungan sosial yang kental akan budaya patriarki yang berkedok “demi kebaikan perempuan”. Karena itu, perempuan di akar rumput saat ini harus bangkit mendobrak budaya patriarki.
Bersambung….