Tak Perlu Narasi Keren dan Filosofi Hebat Merokok saja dengan Syahdu

“Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.” – Taufik Ismail

Tak perlu baper dengan tingkat konsumsi rokok di Indonesia yang sudah sedemikian tinggi. Kita tak perlu risaukan survey-survey banal dari Badan Kesehatan Dunia, WHO, yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki jumlah ‘baby smoker’ terbanyak di dunia.

Tak perlu takut, merokok saja dengan damai, abaikan kebisingan aktivis antirokok di luar sana yang lebay-alay-cuih. Seperti kata Zely Ariane, kita tak perlu filosofi rokok untuk tetap merokok. Tak perlu narasi-narasi hebat. Merokok saja…

Berbagai cara pemerintah berusaha menghentikan asap rokok, namun kasian tetap saja hasilnya nihil. Salah satu usahanya yang katro adalah label warning pada kemasan rokok diubah yang secara resmi memiliki landasan yuridis kuat, dari “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” menjadi teks yang lebih ramping, “Merokok Membunuhmu” beserta varian 5 gambar menyeramkan dan tambahan angka 18 +.

Negara ini memang sudah kelewat batas munafik. Bagini, pemerintah berusaha menekan jumlah perokok yang katanya bisa membunuh, tapi yang rancu adalah kok ya malah dibolehkan dijual bebas oleh dirinya sendiri, terus cukainya diambil pemerintah, kemudian pejabat kita merokok juga. Duitnya ya dari cukai itu tadi. Apakah ada semacam simbiosis mutualisme antara pejabat dengan pabrik rokok ? ya jelas ada. Banyak.

Yang ingin saya tegaskan kepada pemerintah adalah jika benar-benar ingin menghapuskan rokok sampai akarnya, maka jangan merokok sejak dalam pikiran apalagi perbuatan.

Namun, jika pemerintah terus ngotot ingin mengurangi jumlah perokok, maka saran saya adalah pasang AC di seluruh pelosok tanah air, Insya Allah dengan izin Allah yang Maha Kuasa, jumlah perokok akan terjun payang. Iya, terjun payung ke atas.

Kembali ke persoalan mendasar, apakah setiap orang yang merokok kemudian akan mati terbunuh oleh karena rokok itu ? masih diragukan validitasnya. Persoalan lainnya menurut saya adalah apakah rokok secara realitas menyebabkan seseorang yang menghisap menjadi auto-mati?

Saya rasa para pengamat, peneliti, dan termasuk para para medis pun, kayaknya, masih belum secara valid membuat simpulan secara resmi bahwa rokok menjadi penyebab utama kematian seseorang.

Bahwa rokok dapat membunuh secara perlahan, pelan tapi pasti, oke, iya. Tapi bukankah jatuh cinta yang kemudian patah hati melihat mantan menikah dengan orang lain juga secara perlahan membunuh? apakah lantas kita “mengharamkan” jatuh cinta ‘kan tidak. Bahkan jika Anda berkenan melakukan studi perbandingan, bisa jadi kuantitas penyebab orang mati karena patah hati lebih tinggi daripada kepulan asap rokok.

Jika memang antirokok lebih sehat daripada perokok, ya itu bisa katakan wajarlah, namun jika masih ada aktivis antirokok yang penyakitan pokoknya sakit-sakitan, maka lebih baik segera merokok, supaya selain ada sakit, namun ada juga nikmat dalam awan-awan tembakau.

Coba bayangkan, sudah mah sakit terus nggak merokok pula, sakitnya tuh double. Sakit karena penyakit, juga sakit karena belum pernah merasakan nikmat. Karena itu, merokoklah selagi kamu sehat, apalagi sakit.

Jangan terlalu lebay mendorong orang untuk berhenti merokok dengan kedok kesehatan. Sebab, yang merokok pasti mati, yang tidak merokok juga pasti mati, jadi merokoklah sampai mati.

Dalam kaitannya dengan mitos bahaya merokok, ada sebuah cerita menarik yang entah siapa pengarangnya. Ceritanya begini, ada seorang santri cantik –tentunya bukan pacar saya— bertanya pada seorang ustadz yang kebetulan pada saat itu si ustadz sedang menghisap rokok Djarum Super yang tinggal sepertiga batang lagi:  

“Pak ustadz, lagi ngapain ?”

“lagi khutbah jumat di gereja, Eneeeng. Yaa lagi ngerokoklah. Kagak liat, lu?”

“Hehe saya hanya basa basi aja, Tadz.”

“Oh gitu, gimana udah dipikirin matang-matang belum, mau nggak jadi istri saya yang keduapuluh empat?”

“Eh ?”

“Kok eh sih ?!”

“Iya-iya mau deh, tapi jawab dulu pertanyaan Eneng: kenapa ustadz masih merokok dan belum mati juga?”

Dengan tenang si ustadz menjawab, “Sudah puluhan tahun saya merokok, Neng. Jika rokok itu berbahaya, maka saya sudah berada di liang lahat. Ingatlah, ada satu hal yang lebih berbahaya daripada Rokok Djarum Super: Pemikiran Manusia”.

Salam Super! i Dare

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *