Ilmu Pengetahuan Selayaknya Berjuang di Jalan Rakyat untuk Keadilan

Pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat menjadi salah satu cita-cita yang perlu didorong untuk terwujud di Indonesia. Pasalnya dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia inilah lahir orang-orang yang akan menentukan arah Indonesia ke depannya.

Tulisan singkat ini mencoba bercerita sedikit alasan mengapa pendidikan harus mengabdi pada rakyat. Telah kita pahami bersama bahwa pendidikan, dalam konteks ini ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan tidak netral dan punya keberpihakan, pertanyaannya akan berpihak kepada siapa ilmu pengetahuan kita? Kepada para penindas untuk melanggengkan penindasan atau kepada rakyat tertindas untuk keluar dari belenggu penindasan.

Salah satu contoh untuk menunjukkan bagaimana keberpihakan ilmu pengetahuan bekerja adalah dengan melihat kasus pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Kendeng. Drama cabut dan terbit  izin lingkungan pun terjadi, semenjak tahun 2012 ketika izin lingkungan pabrik PT Semen Indonesia di Kendeng diterbitkan, banyak sekali penolakan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar, hingga akhirnya tahun 2016 Mahkamah Agung mengabulkan gugatan masyarakat dan mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia di Kendeng.

Kemenangan rakyat ternyata tak berlangsung lama, Februari 2017 Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo kembali menerbitkan izin lingkungan baru untuk PT Semen Indonesia di Kendeng. Terbitnya izin lingkungan tersebut tentunya tidak terlepas dari peran Intelektual-intelektual yang “mengakali” kajian lingkungan untuk memuluskan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Kendeng.

Lalu bagaimana dengan ilmu pengetahuan yang kita miliki? Sebagai seorang lulusan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang memilih konsentrasi linguistik, tentunya ilmu linguistik ini harus diabdikan agar bermanfaat untuk rakyat.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya? Teringat perkataan salah satu dosen “geus teu usum linguistik ngomongkeun huruf, kata, frasa, jeung kalimat hungkul. Ayeuna mah usumna kolaborasi, linguistik jeung budaya, hukum, atawa psikolog,.” Yang kemudian saya maknai bahwa bahasa tidak melulu membicarakan kata ataupun kalimat, tapi bisa membicarakan hal lain di luar bahasa.

Kala itu saya mendapatkan kabar bahwa salah satu kawan perempuan (Anin) kolektif Front Mahasiswa Nasional (FMN) di Surabaya dilaporkan oleh seseorang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas dasar pencemaran nama baik.

Kasus ini berawal dari kegiatan Nobar Film dan Diskusi yang diadakan di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, kegiatan tersebut coba dibubarkan oleh aparat kepolisian dan desa setempat hingga kemudian terjadi adu mulut dan kericuhan.

Ketika adu mulut dan kericuhan tersebut, bagian sensitif dari Anin dipegang secara sengaja oleh aparat kepolisian. Panjang cerita, Anin kemudian menulis sebuah tulisan di media sosialnya terkait peristiwa pembubaran diskusi dan pelecehan seksual tersebut. Hingga akhirnya datanglah surat pemberitahuan penyidikan atas UU ITE tersebut.

Sedikit informasi, Anin ini bisa dibilang mahasiswa yang banyak mengkritik kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat di Surabaya, salah satunya terkait penggusuran.

Kembali ke topik pembahasan, masih adakah intelektual yang mengabdikan dirinya untuk rakyat? Jawabannya, ada!

Tentunya intelektual ini adalah orang-orang langka yang secara sadar mengabdikan ilmu pengetahuannya untuk kepentingan rakyat tanpa bayaran uang; orang-orang yang sudah merasa cukup dengan ucapan terima kasih dari rakyat yang ia bantu; dan orang-orang yang puas karena ia berjuang atas dasar kemanusiaan.

Di Bandung saya mengenal Dr. Dianto Bachriadi, seorang antropolog yang pernah menjabat di Komnas HAM, dia adalah seorang terlibat membela warga, dalam hal ini menjadi saksi ahli dalam kasus penggusuran di Tamansari, Bandung. Sering pula ia diundang dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa yang berkaitan dengan isu sosial. Sepengetahuan saya, semua yang dia lakukan dengan ilmu pengetahuannya tidak meminta bayaran sepeser pun.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Intelektual-intelektual yang “melacurkan” ilmu pengetahuannya karena tergiur dengan godaan uang hingga jabatan, atau mungkin karena takut “dihilangkan” hidupnya oleh penguasa layaknya Munir.

Kembali lagi ke kasus Anin yang dilaporkan menggunakan UU ITE.  Kabar baik datang setelah saya menceritakan kasus  Anin ini kepada seorang dosen linguistik saya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), hingga akhirnya Dr. Andika Dutha Bachari, S.Pd., M.Hum.  bersedia menjadi ahli bahasa dalam kasus tersebut tanpa meminta bayaran. Pak Andika ini adalah Doktor di bidang linguistik forensik, tentunya sangat punya kapasitas untuk menangani kasus seperti ini.

Berawal dari kedekatan ketika membimbing skripsi sewaktu kuliah di UPI, sedikit banyak saya tahu bagaimana karakter Pak Andika ini. Seorang dosen yang menurut saya agak “slenge’an”, namun dalam hal keilmuan tak perlu diuji lagi. Dia juga pernah bilang bahwa dia adalah “preman humanis” ketika saya tanya lewat telepon mengenai alasan mengapa mau menjadi ahli bahasa di kasus Anin. Dia pula berpendapat sepertinya Anin sudah sengaja diincar dan ingin dikriminalisasi.

Dari kedua orang tersebut saya makin meyakini bahwa masih ada intelektual- intelektual yang mengabdikan ilmu pengetahuannya agar bermanfaat untuk rakyat. Saya juga meyakini bahwa mereka, orang-orang yang mengabdikan ilmu pengetahuannya untuk rakyat merasakan kenikmatan yang lebih dibanding harta ataupun jabatan.

Terima kasih kepada seluruh intelektual di muka bumi ini yang mengabdikan ilmu pengetahuannya untuk rakyat. Ilmu pengetahuanmu tak akan pernah hilang, ia akan terus tumbuh di setiap kepala rakyat yang melawan kesewenangan.

Hidup Intelektual yang melawan dan berjuang di jalan rakyat! Jika tidak berjuang di jalan rakyat, ilmu pengetahuan itu kau makan sendiri? Sungguh naif dan begitu pengecut!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *