Perihnya Kaleidoskop 2020 Perlukah Revolusi Akhlak?

Perbincangan terkait urgensi akhlak ini tampaknya kembali mencuat setelah berbagai kasus klasik bermunculan, seperti korupsi, pencurian, pemerkosaan dan segala bentuk kejahatan yang semakin merajalela. Ini pun terjadi ketika IBHRS menyerukan revolusi akhlak.

Hal ini bagi saya begitu menarik, semenarik kemolekan tubuh Malena Scordia yang aduhainya bukan main, bahkan perbincangan akhlak di era kontemporer ini menurut saya lebih menyeramkan daripada Young Lex yang nangis disebabkan menonton K-Drama Start-Up.

Alasan mengapa saya bilang begitu menarik dan menyeramkan, lantaran, akhlak, bagaimana pun juga mempunyai shot effect di masa depan. Menarik karena dapat menjadi tema utama dalam lingkaran diskusi sehingga saya tidak lagi kehabisan obrolan di warung kopi. Menyeramkan karena terperosoknya akhlak, itu berarti meningkatnya tingkat kriminalitas.

Faktanya,  Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Poliri, Brigadir Jenderal Awi Setiono mengatakan, terjadi peningkatan kasus kriminalitas sebanyak 1.632 kasus atau 38,45% pada pekan ke 24 dibandingkan minggu ke-23 pada 2020. 

Bukan hanya itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, ada sekitar 169 kasus korupsi sepanjang semester satu 2020, dari 169 kasus korupsi diantaranya merupakan kasus koprupsi baru, kemudian ada 23 pengembangan kasus serta 23 operasi tangkap tangan (OTT).

Karena itu lebih baik perhatian publik jangan terlalu diarak ke persoalan politik tai kucing yang sampah itu. Apakah tidak bosan menonton pergulatan hastag antara Cebong, kampret, kadrun dan buzzeRp? Kita harus sudah mulai berbenah dan mencuri start untuk memikirkan dari mana kita harus membangun akhlak yang sudah sedemikian terpuruk.

Untuk menjawab problem itu, kita sebetulnya tidak perlu jauh-jauh membuka pemikiran Antonio Gramsci untuk membongkar seluruh keladi dari dekadensi akhlak ini. Kita pun sebetulnya harus mulai berani menyatakan ‘tidak’ terhadap segala pemikiran absurd dari Max Weber untuk mencari secuil solusi dari problem ini.

Bahkan kita pun jangan sampai tergoda oleh pemikiran Karl Marx yang mempunyai cita-cita untuk menciptakan struktur masyarakat lebih baik tapi dirinya sendiri tidak terurus. Oleh karena itu, sebetulnya segala pemikiran impor yang datang dari Barat tidak lebih dari sekedar hiasan argument untuk menyatakan bahwa kita adalah manusia terpelajar.

Jika Anda kembali membuka Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 2 dicantumkan dengan sangat jelas bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah terbentuknya pribadi yang berbudi pekerti luhur.

Secara ekplisit tujuan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa dekadensi akhlak serta konstruksinya bisa dibangun lewat jalan pendidikan formal seperti sekolah-sekolah. Namun sayang 7000 kali sayang, pendidikan hari ini sangat jauh dari kata “berhasil”.

Mana manusia dengan pribadi yang berbudi pekerti luhur jebolan sekolah? Ajay M Priatna? Juliari Batubara? Edhy Prabowo? Djoko Tjandra? Atau Lucinta Luna? Hmm, dari nama-nama itu malah bikin saya muak.

Maaf saya sedikit menggenalisir, namun nama-nama itu bisa menjadi semacam sampel bahwa persoalan akhlak adalah permasalahan yang harus diselesaikan secara berjamaah. Caranya?

Yusril Ihza Mahendra pernah bertutur bahwa sistem yang kuat akan memaksa orang jahat menjadi baik, namun sistem yang lemah akan membuat orang baik terpaksa berbuat jahat.

Hal ini senada dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menegaskan bahwa benahi sistem terlebih dahulu sebelum membenahi manusia. Di sinilah sebetulnya pangkal problem dari dekansi akhlak ini.

Agar sistem ini kuat, maka negara harus diperintah oleh sistem dan tunduk kepada sistem, bukan oleh orang sebenarnya. Kendati pun ada hubungan psikologis-biologis satu sama lain. Jika sistem dibangun kuat, kita bisa mengatasi masalah KKN, pemerkosaan, pembunuhan, bahkan mengatasi gejala kurang perhatian pun bisa.

Hal ini juga  diakhir tahun 2020 digaungkan oleh IBHRS sepulangnya dari Arab Saudi, ia menawarkan konsep revolusi akhlak kepada pemerintah. Hal ini yang menjadi tawaran kelompok dirinya ketika kelak melakukan rekonsiliasi dengan pemerintah.

Saya tidak mau masuk terlalu dalam pada konsep revolusi akhlaknya IBHRS, takut dicap website kadrun sama kaum open minded.

Saya ilustrasikan saja begini. Kalau kita pergi ke pasar modern seperti mall-mall yang ada di pusat kota, kita tiba-tiba menjadi baik. Tapi bukan berarti kita orang baik. Namun sistem di mall-lah yang memaksa kita menjadi orang baik.

Coba perhatikan dengan pasar tradisional yang mempunyai sistem yang lemah, bukan hanya mencuri, menodong dan diperas oleh preman, meludah atau bahkan muntaber di pun tidak menjadi masalah. Karena sistemnya begitu lemah.

Oleh karena itu, benahi sistem terlebih dahulu, sebelum kemerosotan akhlak ini jatuh tempo hingga bom waktu menghanjurkan segalanya. Mari kita ciptakan sendiri sebuah sistem yang kuat. Jangan nunggu Negara untuk ambil tindakan. Kita sendiri pun bisa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *